Industri film adalah industri yang tidak
ada habisnya. Sebagai media massa, film digunakan sebagai media yang
merefleksikan realitas, atau bahkan membentuk realitas. Cerita yang
ditayangkan lewat film dapat berbentuk fiksi atau non fiksi. Lewat film,
informasi dapat dikonsumsi dengan lebih mendalam karena film adalah
media audio visual. Media ini banyak digemari banyak orang karena dapat
dijadikan sebagai hiburan dan penyalur hobi.
Sejarah Film
Kemunculan film tak terlepas dari
stimulasi yang dibawa oleh teknologi fotograf. Teknologi film sebenarnya
merupakan teknologi dari lanjutan dari fotograf. Awal hadirnya
inspirasi untuk membuat gambar bergerak muncul setelah seorang ilmuwan
yang bekerja di Paris memotret pergerakan binatang dengan tujuan
membandingkan pergerakan binatang satu dan lainnya. Dia adalah Etienne
Jules Marey. Saat itu dia memotret pergerakan kuda menggunakan kamera
foto. Informasi mengenai temuannya dipublis menjadi sebuah buku berjudul
Animal Mechanism.
Selanjutnya, pada 1877, Seorang fotograf
bernama Eardweard Muybridge disewa oleh seorang peternak kuda jutawan,
Leland Stanford. Stanford hendak membuktikan taruhannya bahwa ketika
berlari keempat kaki kuda di angkat ke atas tanah. Untuk itulah
Muybridge kemudian mengatur strategi agar dapat merekam pergerakan kuda
yang simultan. Muybridge menggunakan Sequential Photographs untuk
menciptakan ilusi pergerakan. Muybridge memotret pergerakan kuda
menggunakan 12 kamera berbeda yang disebar sepanjang jalan yang dilalui
kuda. Hasilnya, ternyata benar bahwa keempat kaki kuda diangkat ke atas
tanah ketika berlari. Hasil potret Muybridge pun memberi sumbangsih
besar dalam perkembangan studi gambar bergerak. Muybridge pun terus
melakukan eksperimen pemotretan, jumlah kamera terus ditambah menjadi 24
kamera. Dia memotret hewan-hewan, lalu memotret pergerakan manusia.
Muybridge berkeliling Eropa mempertunjukkan hasil-hasil potretannya.
Akhirnya, pada suatu ketika, dia dan Marey bertemu. Hingga pada 1882,
Marey menyempurnakan sebuah photographic gun camera yang dapat mengambil
12 potret dalam satu piringan (kamera gambar bergerak yang pertama).
Inilah kamera gambar bergerak yang pertama ditemukan.
Temuan-temuan Marey dan Muybridge terus
dikembangkan oleh para ilmuwan lain. Gambar bergerak terus
disempurnakan. Dimulai dari disempurnakannya kamera hasil Marey, lalu
ditemukan proyektor untuk memutar gambar bergerak pada layar lebar,
dilakukannya pembuatan dan pemutaran film hitam-putih, dikembangkannya
teknik-teknik pengambilan gambar dan trik kamera, kemudian industri
perfilman menjadi semakin ramai dengan banyaknya bermunculan
studio-studio film besar di Hollywood, lalu semakin berkembangnya
teknologi perfilman yang membuat film menyertakan suara, warna, dan
animasi serta 3 dimensi. Hingga saat ini, perkembangan teknologi film
terus berkelanjutan.
Teknologi fim memiliki karakter yang
spesial karena bersifat audio dan visual. Karakter ini menjadikan film
sebagai cool media yang artinya film merupakan media yang dalam
penggunaannya menggunakan lebih dari satu indera. Film pun menjadi media
yang sangat unik karena dengan karakter yang audio-visual film mampu
memberikan pengalaman dan perasaan yang spesial kepada para
penonton/khalayak. Para penonton dapat merasakan ilusi dimensi
parasosial yang lebih ketika menyaksikan gambar-gambar bergerak,
berwarna, dan bersuara. Dengan karakter audio-visual ini juga film dapat
menjadi media yang mampu menmbus batas-batas kultural dan sosial.
Kelebihan film adalah karakternya yang
audio-visual menjadikan film lebih kuat dalam menyampaikan pesan kepada
khalayak yang multikultur dan lintas kelas sosial. Perasaan dan
pengalaman yang hadir saat menonton film pun menjadikan film sebagai
media yang spesial karena dapat membuat khalayak terbawa ke dalam film
bersama dimensi parasosial yang dihadirkan. Bagi para pembuat film, film
merupakan media yang sangat representatif atas ide-ide kreatif mereka.
Dan keakraban film terhadap khalayak menjadikan ide-ide dan pesan para
pembuat film lebih gampang diterima khalayak.
Kekurangan dari film adalah sebagai
sangat multitafsir. Diperlukan analisa tersendiri untuk memahami
unsur-unsur semiotik yang ditampilkan dalam film. Kemampuan film
menembus batas-batas kultural di sisi lain justru membuat film-film yang
membawa unsur tradisional susah untuk ditafsirkan bahkan salah tafsir
oleh penonton yang berasal dari kelompok budaya lain. Sedangkan
kekurangan lain dari film adalah film-film yang dibuat dalam
universalitas akan turut membentuk apa yang disebut common culture yang
dapat mengikis lokalitas masyarakat tertentu. Film juga sangat
memberikan efek pada orang yang menontonnya terutama anak-anak, sehingga
untuk jenis film-film tertentu seperti horor, kekerasan dan pornografi
akan memberikan pengaruh negatif bagi khalayak. Dari segi industri,
industrialisasi dan komersialisasi film telah menjadikannya sebagai
media yang dikomodifikasi. Sahingga saat ini banyak film-film yang hanya
mengejar pangsa pasar dan profit semata, kualitas pun tidak
dipedulikan. Ideologi yang diusung film pun tidak jelas, semuanya hanya
mengejar
Para khalayak atau penonton film
menggunakan film menggunakan lebih dari satu indera karena karakter film
yang audio-visual. Para penonton jadi lebih terbawa dalam dimensi
parasosial yang dihadirkan lewat film. Pola penggunaan yang seperti ini
menjadikan penonton dapat menyamarkan – bahkan menghapus – batas-batas
kultural dan sosial (misalnya bahasa) sehingga pesan yang disampaikan
lewat film tetap akan dapat dimengerti oleh penonton.Industri film
adalah industri yang tidak ada habisnya. Sebagai media massa, film
digunakan sebagai media yang merefleksikan realitas, atau bahkan
membentuk realitas. Cerita yang ditayangkan lewat film dapat berbentuk
fiksi atau non fiksi. Lewat film, informasi dapat dikonsumsi dengan
lebih mendalam karena film adalah media audio visual. Media ini banyak
digemari banyak orang karena dapat dijadikan sebagai hiburan dan
penyalur hobi bagi orang-orang tertentu.
Teknologi fim memiliki karakter yang
spesial karena bersifat audio dan visual. Karakter ini menjadikan film
sebagai cool media yang artinya film merupakan media yang dalam
penggunaannya menggunakan lebih dari satu indera. Film pun menjadi media
yang sangat unik karena dengan karakter yang audio-visual film mampu
memberikan pengalaman dan perasaan yang spesial kepada para
penonton/khalayak. Para penonton dapat merasakan ilusi dimensi
parasosial yang lebih ketika menyaksikan gambar-gambar bergerak,
berwarna, dan bersuara. Dengan karakter audio-visual ini juga film dapat
menjadi media yang mampu menmbus batas-batas kultural dan sosial.
Kelebihan film adalah karakternya yang
audio-visual menjadikan film lebih kuat dalam menyampaikan pesan kepada
khalayak yang multikultur dan lintas kelas sosial. Perasaan dan
pengalaman yang hadir saat menonton film pun menjadikan film sebagai
media yang spesial karena dapat membuat khalayak terbawa ke dalam film
bersama dimensi parasosial yang dihadirkan. Bagi para pembuat film, film
merupakan media yang sangat representatif atas ide-ide kreatif mereka.
Dan keakraban film terhadap khalayak menjadikan ide-ide dan pesan para
pembuat film lebih gampang diterima khalayak.
Kekurangan dari film adalah sebagai
control media film bisa jadi sangat multitafsir. Diperlukan analisa
tersendiri untuk memahami unsur-unsur semiotik yang ditampilkan dalam
film. Kemampuan film menembus batas-batas kultural di sisi lain justru
membuat film-film yang membawa unsur tradisional susah untuk ditafsirkan
bahkan salah tafsir oleh penonton yang berasal dari kelompok budaya
lain.
Sedangkan kekurangan lain dari film
adalah film-film yang dibuat dalam universalitas akan turut membentuk
apa yang disebut common cuture yang dapat mengikis lokalitas masyarakat
tertentu. Film juga sangat memberikan efek pada orang yang menontonnya
terutama anak-anak, sehingga untuk jenis film-film tertentu seperti
horor, kekerasan dan pornografi akan memberikan pengaruh negatif bagi
khalayak. Dari segi industri, industrialisasi dan komersialisasi film
telah menjadikannya sebagai media yang dikomodifikasi. Sahingga saat ini
banyak film-film yang hanya mengejar pangsa pasar dan profit semata,
kualitas pun tidak dipedulikan. Ideologi yang diusung film pun tidak
jelas, semuanya hanya mengejar
Para khalayak atau penonton film
menggunakan film menggunakan lebih dari satu indera karena karakter film
yang audio-visual. Para penonton jadi lebih terbawa dalam dimensi
parasosial yang dihadirkan lewat film. Pola penggunaan yang seperti ini
menjadikan penonton dapat menyamarkan – bahkan menghapus – batas-batas
kultural dan sosial (misalnya bahasa) sehingga pesan yang disampaikan
lewat film tetap akan dapat dimengerti oleh penonton.
Fungsi Film
Seperti halnya televisi siaran, tujuan
khalayak menonton film terutama adalah ingin memperoleh hibutan. Akan
tetapi dalam film dapat terkandung fungsi informatif maupun edukatif,
bahkan persuasif.
Karakteristik Film
- Layar yang luas/lebar
- Pengambilan Gambar pemandangan menyeluruh
- Konsentrasi penuh
- Identifikasi Psikologis
Jenis-jenis Film
- Film Cerita : Jenis film yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukan di gedung-gedung bioskop dengan bintang tenar film tenar dan didistribusikan sebagai barang cadangan
- Film Berita : Peristiwa fakta, yang benar-benar terjadi
- Film Dokumenter : Karya ciptaan mengenai kenyataan.
- Film Kartun : Dikonsumsi untuk anak-anak.
Film Sebagai Media Budaya
Melalui film sebenarnya kita banyak
belajar tentang budaya. Baik itu budaya masyarakat di mana kita hidup di
dalamnya, atau bahkan budaya yang sama sekali asing buat kita. Dan kita
menjadi mengetahui bahwa budaya masyarakat ini begini dan budaya
masyarakat itu begitu, terutama melalui film.
Film juga dilihat sebagai media
sosialisasi dan media publikasi budaya yang ampuh dan persuasif.
Buktinya adalah ajang-ajang festival film semacam Jiffest (Jakarta
International Film Festival), Festival Film Perancis, Pekan Film Eropa,
dan sejenisnya merupakan ajang tahunan yang rutin di selenggarakan di
Indonesia. Festival Film Indonesia dalam beberapa tahun ini mulai
dihidupkan lagi setelah terhenti cukup lama.
Film-film yang disajikan dalam pelbagai
ajang festival tadi telah berperan sebagai duta besar kebudayaan mereka
sendiri, untuk diperkenalkan kepada masyarakat yang memiliki budaya yang
tentunya berbeda dengan dari mana film tersebut berasal. Duta besar
yang tidak birokratis.
Begitu pula dengan audiensnya. Mereka
dengan sadar datang menonton film salah satunya untuk mengenal budaya
pihak lainnya. Mereka menonton film Iran karena ingin tahu bagaimana
kehidupan sosial budaya masyarakat Iran dan berbagai dinamikanya. Belum
lagi film Ceko, Hongaria, Cile, Korea Utara, dan sebagainya.
Unsur-unsur dan nilai budaya ini yang
sering luput dari sajian televisi. Media televisi tidak bisa atau lebih
tepatnya tidak merasa perlu untuk menyajikan nilai budaya sebagaimana
yang tersajikan melalui media film.
Film untuk itu dipahami sebagai
representasi budaya. Film digunakan sebagai cerminan untuk mengaca atau
untuk melihat bagaimana budaya bekerja atau hidup di dalam suatu
masyarakat.
Ketika kita melihat film Ali Topan maka
pada dasarnya kita sedang melihat cerminan dari budaya remaja yang
terjadi pada era di mana Ali Topan itu hidup. Dan ketika kita menonton
film Ada Apa Dengan Cinta maka kita juga sedang melihat representasi
budaya remaja era Dian Sastro dan Nicolas Saputra.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan representasi
Chris Barker menyebutkan bahwa
representasi merupakan kajian utama dalam cultural studies. Representasi
sendiri dimaknai sebagai bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosialn
dan disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam pemaknaan tertentu.
Cultural studie memfokuskan diri kepada bagaimana proses pemaknaan
representasi itu sendiri.
Menurut Stuart Hall (1997), representasi
adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan.
Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut
‘pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang
sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama,
membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang
sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.
Dalam pembicaraan kita, representasi
merujuk kepada konstuksi segala bentuk media (terutama media massa)
terhadap segala aspek realitas atau kenyataan, seperti masyarakat,
objek, peristiwa, hingga identitas budaya. Representasi ini bisa
berbentuk kata-kata atau tulisan bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk
gambar bergerak atau film.
Konsep representasi sendiri dilihat
sebagai sebuah produk dari proses representasi. Representasi tidak hanya
melibatkan bagaimana identitas budaya disajikan (atau lebih tepatnya
dikonstruksikan) di dalam sebuah teks tapi juga dikonstruksikan di dalam
proses produksi dan resepsi oleh masyakarat yang mengkonsumsi
nilai-nilai budaya yang direpresentasikan tadi.
Dalam kasus film sebagai representasi
budaya, film tidak hanya mengkonstruksikan nilai-nilai budaya tertentu
di dalam dirinya sendiri, tapi juga tentang bagaimana nilai-nilai tadi
diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi oleh masyarakat yang
menyaksikan film tersebut. Jadi ada semacam proses pertukaran kode-kode
kebudayaan dalam tindakan menonton film sebagai representasi budaya.
Junaidi, dalam artikelnya Film Mandarin dan Identitas Budaya Indonesia, mendiskusikan perspektif Cultural Studies
yang melihat fenomena film Mandarin dalam kaitannya dengan pembentukan
identitas bangsa Indonesia. Di sini Junaidi percaya bahwa film,
sebagaimana halnya produk budaya lain, memegang peran yang penting dalam
merepresentasikan siapa itu orang Indonesia.
Dalam risetnya tersebut Junaidi
menceritakan sejumlah temuannya. Misalkan bahwa representasi orang China
di beberapa film masih bersifat negatif dan simplisistis. Masyarakat
China dilihat sebagai masyarakat yang homogen dan tak berubah.
Kompleksitas identitas masyarakat China dan interaksi mereka dengan
etnis lain seringkali terabaikan. Sikap masa bodoh, praduga, dan
stereotipe negatif akhirnya terakumulasi.
Padahal jika mau jujur, belum tentu
masyarakat China pada realitas kesehariannya itu sebagaimana yang ada di
dalam film atau sinetron kita. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa apa
yang disajikan oleh film tadi belum tentu sesuai dengan realitas yang
aslinya. Film bagaimanapun hanya menyajikan representasi dari realitas.
Representasi di sini harus lebih dilihat
sebagai upaya menyajikan ulang sebuah realitas. Dalam usaha menyajikan
ulang ini tentunya sampai kapan juga tidak akan pernah menyajikan
dirinya sebagai realitas yang aslinya. Film sebagai representasi budaya
hanyalah sebagai second hand reality.
Belum lagi jika kita membedah lebih
lanjut bagaimana proses produksi film sebagai proses representasi tadi.
Di balik proses representasi ada siapa saja yang terlibat di dalamnya,
dalam rangka kepentingan apa, dan bagaimana representasi yang mereka
lakukan. Jadi yang namanya representasi itu sangat sulit untuk dibilang
netral atau alamiah.
Jika anda suka menonton film laga ala
Hollywood seringkali digambarkan bagaimana orang Amerika memulu sebagai
pahlawan pembela kebenaran. Dan sebaliknya yang namanya penjahat atau
teroris adalah orang Timur Tengah, atau orang Rusia. Film ini adalah
sebuah upaya representasi yang cenderung manipulatif.
Apakah kalau yang namanya teroris itu
adalah melulu orang Timut Tengah? Ya, kata film Hollywood. Karena sangat
jarang film Hollywood menggambarkan bahwa teroris itu orang Amerika.
Sebaliknya coba anda tanyakan kepada orang Iran, siapa yang mereka sebut
sebagai teroris? Jawabannya kemungkinan justru orang Amerika itu
sendiri.
http://husnun.wordpress.com/2011/04/27/film-sebagai-bagian-dari-media-massa/
http://husnun.wordpress.com/2011/04/27/film-sebagai-bagian-dari-media-massa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar